tag:blogger.com,1999:blog-4048735216613891722024-03-04T20:32:39.426-08:00Puisi Tanpa JedaDeskripsi Hati Lewat PuisiAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/07505335978988746251noreply@blogger.comBlogger4125tag:blogger.com,1999:blog-404873521661389172.post-23799813175577504162014-03-09T23:31:00.001-07:002014-03-09T23:31:46.345-07:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07505335978988746251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-404873521661389172.post-5318487086786782852012-04-25T20:12:00.001-07:002012-04-25T20:12:32.953-07:00IBU BERBOHONG UNTUK KEBAIKAN ANAKNYA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="color: #0b5394; font-size: x-large;">Renungan</span> <span style="color: #990000; font-size: x-large;">:</span> IBU SEORANG PEMBOHONG<br /> <br /> Seorang ibu dalam hidupnya membuat kebohongan.sebagai berikut :<br /> <br />
1. Saat makan, jika makanan kurang, Ia akan memberikan makanan itu
kepada anaknya dan berkata, "Cepatlah makan nak, ibu tidak lapar."<br /> <br /> 2. Waktu makan, diaa selalu menyisihkan ikan dan daging untuk anaknya dan berkata, "ibu tidak suka daging, makanlah nak.."<br /> <br /> 3. Tengah malam saat dia sedang menjaga anaknya yang sakit, diaa berkata "tidurlah nak, ibu belum ngantuk."<br /><span class="text_exposed_show"> <br />
4. Saat anak lulus sekolah, bekerja, mengirimkan uang untuk ibu, dia
berkata, "Simpanlah untuk keperluanmu nak, ibu masih ada uang."<br /> <br />
5. Saat anak sukses, menjemput ibunya untuk tinggal di rumah besar,
lantas berkata, "Rumah tua kita sangat nyaman, ibu tidak terbiasa
tinggal dirumahmu."<br /> <br /> Saat menjelang tua, ibu sakit berat,
anaknya akan menangis, tetapi ibu masih mampu tersenyum sambil berkata,
"Jangan menangis, ibu tidak apa apa." Ini adalah kebohongan terakhir
yang ibu buat.<br /> <br /> Tidak peduli sekaya apa kita, seberapa dewasanya
kita, ibu slalu menganggap kita sebagai anak kecilnya, kita
mungkin tidak pernah menyadari dari semua kebohongan yang hanya untuk
kita.<br /> <br /> Sobat PTJ ,semoga smua anak di dunia ini menghargai ibu
mereka mendoakan selalu di setiap sujut....karna ibu hanya 1 di dunia
dan tiada gantinya..<br /> <br /> <span style="color: red; font-size: x-large;">i ♥ U ibu :)</span></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLSd6VX6fUH2C9C2JTHv-LjQaBbAY4_E3q34mGjd7oPzWHeleRlEfs8Z0QFAeDzMQTqPj4XOi2qTJQGznv7MLFxGCiEe40DUemrs0tjTm-lO2SJt6Aef7AufBEKHn1Znlg2tSa9kl9CKU/s1600/ibu.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLSd6VX6fUH2C9C2JTHv-LjQaBbAY4_E3q34mGjd7oPzWHeleRlEfs8Z0QFAeDzMQTqPj4XOi2qTJQGznv7MLFxGCiEe40DUemrs0tjTm-lO2SJt6Aef7AufBEKHn1Znlg2tSa9kl9CKU/s320/ibu.jpg" width="320" /></a></div>
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07505335978988746251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-404873521661389172.post-21704260463885494062012-03-10T21:23:00.001-08:002012-03-10T22:37:34.874-08:00PERNIKAHAN (ISLAM)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTj1cvFlckYzomrrLwU2RNBmOSO9wjHWv9LY2YNPjSTGfSCFZWX2WfNBJ8G2ZbSfATe0qR8XYsHsyqfwavUGWG5pgfjTKl0x9zZb4fadgOeMxPk9t9BDdga9MduQSwUq0WdCFfvaFVHaw/s1600/Bsmlh_a.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTj1cvFlckYzomrrLwU2RNBmOSO9wjHWv9LY2YNPjSTGfSCFZWX2WfNBJ8G2ZbSfATe0qR8XYsHsyqfwavUGWG5pgfjTKl0x9zZb4fadgOeMxPk9t9BDdga9MduQSwUq0WdCFfvaFVHaw/s320/Bsmlh_a.jpg" width="320" /></a></div><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “<i>Coba dulu baru beli</i>” kemudian “<i>habis manis sepah dibuang</i>”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.<span id="more-359"></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">1. Mengenal calon pasangan hidup</span></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan <span style="text-decoration: underline;">mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita</span>.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “<i><span style="text-decoration: underline;">Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah</span></i>. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf</i>.” (Al-Ahzab: 32)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Beberapa hal yang perlu diperhatikan</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Ada</span><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">-Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian</i>.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">-Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”</i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit</i>.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">2. Nazhar (Melihat calon pasangan hidup)</span></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya</i>. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil</i>. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “<i>Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” </i>jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).”</i> (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “<i>Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita</i>.” (Syarhus Sunnah 9/18)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “<i>Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”</i> Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut</i>.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “<i>Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya</i>.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">‘<i>Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat)</i>.” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “<i>Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat</i>.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar (melihat calon)</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya</i>.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya</i>.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “<i>Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita</i>.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">3. Khithbah (peminangan)</span></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya)</i>.” (HR. Al-Bukhari no. 5144)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”</i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Yang perlu diperhatikan oleh wali</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">-Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”</i> (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">-Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau</i>. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">4. Akad nikah</span></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “<i><span style="text-decoration: underline;">Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin</span></i>.”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “<i><span style="text-decoration: underline;">Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin</span></i>.”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب:</span></b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> 70-71)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">5. Walimatul ‘urs</span></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4</i>.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab</i>.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang</i>.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan</i>.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’</i>.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">6. Setelah akad</span></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Pertama:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Kedua:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Ketiga:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” <i>Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.</i>” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Keempat:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">“<i>Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’</i>.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Kelima:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu ‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah rad..</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Pertama:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Kedua:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Ketiga:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Keempat:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Kelima:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">PERHATIAN:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “<i>Ada</i><i> pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat</i>.”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Sulaiman At-Taimi berkata: “<i>Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan</i>.”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “<i>Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.</i>” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Keenam:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Ketujuh:</span></span></i><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"> Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga <b><i>jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing.</i></b> Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan <i>Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju</i> (HR. Al-Bukhari no. 5169).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;">Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab. </span></div></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07505335978988746251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-404873521661389172.post-75944015951471059242012-03-02T09:03:00.001-08:002012-03-10T22:47:34.566-08:00Selamat Datang di Puisi Tanpa Jeda<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFsrM1XizauTeWaB30oHGZf0GFluTjEyyunCs-bjoWgioBVgk-aktQgVl0UyFgUYtHXpEdM8A4deMMacMuf6tREFjyrrdJyItLZbocvmLWasfuqPi7kTvotdZJE3P0CYZJAHTjG8nqkmg/s1600/baru.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="256" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFsrM1XizauTeWaB30oHGZf0GFluTjEyyunCs-bjoWgioBVgk-aktQgVl0UyFgUYtHXpEdM8A4deMMacMuf6tREFjyrrdJyItLZbocvmLWasfuqPi7kTvotdZJE3P0CYZJAHTjG8nqkmg/s320/baru.jpg" width="320" /></a></div>Selamat datang di Blognya <a href="https://www.facebook.com/Puisi.Tanpa.Jeda">PTJ</a>... bangkitkan suara hati mu dengan berpuisi ...lalu klik <a href="http://www.facebook.com/Puisi.Tanpa.Jeda">di sini</a> dan like hehehe<br />
iseng2 buat blog ... :)</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07505335978988746251noreply@blogger.com0